SAMARINDA – Beberapa Non-Government Organizations (NGO) di Kaltim untuk membuka diskusi santai di Wadah Ngopi Jalan KS Tubun Samarinda, Jum’at (27/9/2024). Diskusi ini membahas mengenai seputaran Pemilihan Kepala Daerah (PIlkada) Kaltim.
Diskusi dipantik secara langsung oleh Koordinator Pokja 30 Kaltim Buyung Marajo dan Direktur LBH Samarinda Fathul Huda yang dipandu moderator dari AJI Samarinda Nofiyatul Chalimah.
Buyung mengatakan keanehan situasi Pilkada ini. Layaknya tak ada masalah, adem-adem saja. Padahal ada substansi yang seharusnya dibicarakan. Yakni program yang dibawa oleh kontestan Pilkada 2024.
“Di 10 kabupaten/kota, pasangan calon menjargonkan peningkatkan kesejahteraan guru, ada beasiswa. Padahal kesejahteraan dan pendidik ini memang tugas negara. Di Undang-Undang kita jelas mengatakan adanya persamaan pendidikan, kesejahteraan itu sudah ada.”
“Entah kurang kreatif paslonnya. Persoalannya terus berulang,”kritiknya.
Di beberapa paslon daerah pesisir maupun di Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu), masih banyak partai politik yang mengusung politik dinasti.
Tak hanya itu, banyaknya petahana yang berjuang kembali untuk memenangkan Pilkada ini dikhawatirkan layaknya masa kepemimpinan periode kedua Presiden RI Joko Widodo.
“Visi yang dibawa petahana akan meleset lagi, karena di periode dua berfokus mengembalikan modal politik. Seperti Jokowi ketika menjabat di periode kedua,”sambung Buyung.
Buyung lebih menekankan petahana yang memiliki PR banyak. Seperti persoalan kerusakan lingkungan disebabkan ekstraktivisme. Ketika mereka menjabat, tidak ada satupun pemerintah daerah yang menyangkal dan memperjuangkan hak mereka atas daerah sendiri. Mereka hanya pasrah dengan perizinan pertambangan yang dialihkan ke pemerintah pusat.
Tak hanya untuk para kontestan, namun Buyung juga menyoroti terkait penyelenggara Pilkada itu sendiri. Yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
“Pemilihan komisioner KPU dan Bawaslu pun juga bobrok. Karena menggunakan rekomendasi, dari rekomendasi itu pasti ujung-ujungnya siapa yang lebih besar punya uang,”katanya pedas.
Di kesempatan yang sama, Fathul mengatakan bahwa visi-misi yang dibawa oleh paslon tidak ada yang benar-benar mewakili kebutuhan masyarakat di daerahnya.
“Visi-misi sama aja yang intingnya mencari proyek saja. Di Kaltim, memang adakah program yang benar-benar mewakili kebutuhan yang diinginkan masyarakat?”
“Masyarakat tidak pernah ditanyakan sistem pemilu yang dibutuhkan, yang masyarakat mau seperti apa. DPR maupun eksekutif tidak ada isi kepala. Isinya hanya duit, duit dan duit,”ujarnya.
Partai politik, lanjut Fathul, yang seharusnya sebagai “wajah” demokrasi, nyatanya tidak menggambarkan demokrasi di Indonesia. “Terbukti, ketika pemilihan ketua umumnya selalu ketua yang sebelumnya. Terpilih secara aklamasi,”tegasnya.
Kritikan-kritikan ini, baik dari Buyung maupun Fathul, perlu dikawal terus menerus. Sehingga masyarakat yang memiliki hak pilih bisa lebih kritis untuk menentukan pemimpin daerah selanjutnya. (*)