September Hitam : Deretan Tragedi HAM

ILUSTRASI SEPTEMBER HITAM.

Caption: ILUSTRASI SEPTEMBER HITAM.

Hai Vox and Voxy! Masuknya Bulan September ini pasti kalian sudah gajian kan ? Bayar cicilan aman kan? hehehe. Tapi tahu nggak sih Bulan September ini sebenarnya banyak sekali sejarah kelam yang perlu kita ingat.

Bulan September ini diberi istilah “September Hitam”. Di bulan ini, ada sejumlah peristiwa kelam yang memberikan duka dan luka dalam sejarah Indonesia. Peristiwanya ialah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang hingga saat ini belum tertuntaskan.

Sebanyak 8 tragedi pelanggaran HAM yang terjadi di bulan ini saja. Jadi nggak salah ya September ini istilahnya “September Hitam” !

Melalui artikel ini, kita beri tahu tragedi- tragedi pelangagran HAM itu. Yuk Cek!

1. Kematian Munir Said Thalid, Aktivis HAM (7 September 2004)

Seorang aktivis HAM yang lantang menyuarakan keadilan, Munir Said Thalib, meninggal dunia dalam penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam pada 7 September 2004. Pada saat diautopsi, terungkap ia diracun dengan arsenik. Tiga orang telah diadili, termasuk seorang eks pilot Garuda Pollycarpus Budihari Priyanto serta mantan pimpinan badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi PR.

Muchi ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi, tetapi dinyatakan bebas oleh majelis hakim PN Jakarta Selatan pada akhir 2008. Sementara Pollycarpus, meninggal pada 17 Oktober 2020, yang mana ia juga divonis bersalah dan dihukum penjara 14 tahun, kemudian dibebaskan secra bersyarat dan bebas tiga tahun lalunya.

Namun proses persidangan ini tidak menyentuh terduga aktor utamanya.

Kasus ini pun diduga ada keterlibatan aparat negara dalam pembunuhan ini. Proses kasusnya sendiri saat ini, Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) melanjutkan proses penyelidikan kasus dalam kerangka pelanggaran HAM berat dengan memeriksa sejumlah saksi sejak 15 Maret 2024 lalu.

2. Tragedi ‘65 (30 September 1965)

Salah satu tragedi kelam Indonesia di Bulan September ini ialah Tragedi ‘65, tepat pada 30 September 1965. Gerakan 30 September (G30S), yang merupakan sekelompok perwira militer yang berupaya untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno, memulai aksinya dengan menculik dan membunuh enam jenderal TNI. Peristiwa ini menciptakan kekacauan dalam struktur kekuasaan militer dan politik Indonesia saat itu.

Mengikuti kudeta yang gagal ini, terjadi pembantaian massal terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisannya di berbagai wilayah Indonesia. Pembantaian ini, yang terjadi dalam skala besar dan dengan kekejaman yang tak terbayangkan, mengakibatkan ribuan hingga jutaan kematian, terutama di Pulau Jawa dan Bali.

Kasus ini masih menyisakan banyak pertanyaan dan kontroversi. Identitas dan motivasi sebenarnya di balik G30S belum sepenuhnya terungkap, dan banyak yang meyakini ada aktor-aktor luar yang terlibat. Selain itu, dampak politik dan sosial dari peristiwa ini masih terasa hingga saat ini.

Mengingat peristiwa “Pembantaian ’65” adalah sebuah pengingat yang menyakitkan tentang perpecahan dan kekerasan yang pernah melanda Indonesia. Meskipun telah berlalu lebih dari setengah abad, peristiwa ini tetap menjadi salah satu momen tersulit dalam sejarah bangsa ini.

3. Peristiwa Tanjung Priok (13 September 1984)

Peristiwa ini dimulai ketika pasukan keamanan membubarkan pertemuan yang dihadiri oleh kelompok Muslim yang sedang melaksanakan ibadah Shalat Jumat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Insiden ini berujung pada kerusuhan dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan.

Banyak saksi mata yang menggambarkan saat-saat ketegangan dan teror yang terjadi, dengan beberapa laporan mengindikasikan adanya tindakan eksekusi dan penangkapan secara sewenang-wenang. Peristiwa ini mengakibatkan banyak korban jiwa dan cedera di antara para peserta pertemuan.

Peristiwa Tanjung Priok menjadi sorotan nasional dan internasional, menciptakan kehebohan besar dan memunculkan pertanyaan tentang kebijakan pemerintah dan tindakan aparat keamanan. Peristiwa ini menjadi bukti bahwa pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan semacam ini tidak boleh terjadi di negara demokratis seperti Indonesia.

Meskipun sudah lebih dari empat puluh tahun berlalu sejak peristiwa tersebut, kenangan akan tragedi Tanjung Priok tetap membekas dalam ingatan kita. Hari ini, kita merenungkan peristiwa ini sebagai pengingat bahwa upaya untuk memastikan keadilan, hak asasi manusia, dan perdamaian adalah tugas bersama kita. Masa lalu harus menjadi pelajaran berharga untuk masa depan yang lebih baik.

4. Tragedi Semanggi II (24-28 September 1999)

Tragedi ini menjadi Sebuah peristiwa penting dalam perjalanan Indonesia menuju reformasi politik dan sosial. Pada tanggal 24 hingga 28 September 1999, ribuan orang berkumpul di sekitar Jembatan Semanggi, Jakarta, dalam demonstrasi damai yang berubah menjadi tragedi yang tak terlupakan.

Awalnya, demonstrasi ini dimulai sebagai protes mahasiswa dan aktivis yang menuntut perubahan politik yang lebih besar dan perbaikan dalam pemerintahan. Mereka mengecam korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, dan tindakan sewenang-wenang aparat keamanan. Namun, ketegangan meningkat ketika pasukan keamanan merasa terancam dan berusaha membubarkan demonstrasi tersebut.

Pertempuran sengit antara demonstran dan aparat keamanan meletus di sekitar Jembatan Semanggi. Ini mengakibatkan sejumlah kematian dan cedera serius di antara para peserta demonstrasi. Tragedi ini adalah pengingat yang menyakitkan akan risiko yang dihadapi oleh mereka yang berjuang untuk perubahan dalam sistem politik dan pemerintahan yang ada saat itu.

Meskipun ada tanda-tanda perbaikan dalam pemerintahan dan perubahan sosial sejak itu, Tragedi Semanggi II tetap menjadi pengingat akan pentingnya dialog dan negosiasi dalam menanggapi aspirasi rakyat. Hari ini, kita merenungkan peristiwa ini sebagai bagian dari sejarah Indonesia yang melahirkan semangat untuk melanjutkan perjuangan untuk perubahan yang lebih baik dan mendorong pemerintahan yang transparan, adil, dan berkeadilan.

Tragedi Semanggi II menunjukkan kepada kita bahwa perubahan yang damai adalah hal yang dihargai dan perlu dikejar, dan bahwa kita semua memiliki tanggung jawab untuk memastikan agar tuntutan rakyat didengar dan dihormati. Semangat reformasi terus membara, mendorong kita untuk mencapai masa depan yang lebih cerah untuk Indonesia.

Pada tahun 2019, mahasiswa Indonesia bangkit dalam aksi demonstrasi yang dikenal sebagai ” Reformasi Dikorupsi.” Demonstrasi ini bukan hanya sebuah aksi protes; ini adalah ekspresi mahasiswa Indonesia yang berani berbicara untuk memperjuangkan perubahan dalam sistem politik dan pemerintahan.

Demonstrasi ini dimulai pada bulan September 2019, ketika mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia turun ke jalan-jalan untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai mengorbankan kepentingan rakyat demi kepentingan politik dan bisnis. Protes ini juga mengutuk praktik korupsi yang merajalela di berbagai tingkatan pemerintahan.

Puncak dari demonstrasi ini terjadi pada 30 September 2019, ketika ribuan mahasiswa berkumpul di berbagai kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Mereka menuntut perubahan sejumlah undang-undang yang diangap bermasalah saat itu (RKUHP, RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU Permasyarakatan, RUU Ketenagakerjaan, RUU SDA) dan membatalkan UU KPK, reformasi birokrasi, penuntasan pelanggaran HAM dan transparansi dalam pengelolaan negara, serta hentikan perusakan alam Indonesia.

Namun, apa yang dimulai sebagai demonstrasi damai berubah menjadi bentrokan yang melibatkan aparat keamanan. Kekerasan terjadi di beberapa lokasi, dan banyak mahasiswa yang mengalami cedera. Meskipun ada insiden kekerasan, demonstrasi ini adalah pengingat akan pentingnya mahasiswa dalam membawa perubahan positif bagi tatanan negara ini.

6. Kematian Salim Kancil (26 September 2015)

Salim Kancil berprofesi sebagai petani. Ia sekaligus aktivis lingkungan. Salim Kancil aktif menentang penambangan pasir ilegal di Lumajang.

Akan tetapi, nasibnya berakhir tragis setelah dibunuh preman yang konon atas suruhan Kepala Desa Selok Awar-Awar. Pelaku mendapatkan vonis hukuman 20 tahun penjara, namun dalang pembunuhan tak pernah dihadirkan di pengadilan.

7. Pembunuhan Pendeta Yeremia (19 September 2020)

Pendeta Yeremia berstatus pemimpin Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) di Hitapida, Papua.

Ia meninggal setelah mendapatkan luka tusuk dan diguna ditembak aparat. Pendeta Yeremia dinilai kritis terhadap kehadiran aparat di Hitapida.

Ikuti VOXnews di Google Berita

.

Bagikan berita ini:

-

VOXnews