Hai Vox and Voxy! Beberapa hari kemarin, Tim Voxnews healing bentar ke bekas Ibu Kota Negara (IKN) a.k.a Kota Jakarta. Pas banget kita berkunjung ke pameran karya seni bertajuk “Pameran Warna-Warna” Volume II. Pameran ini diadakan di Dia.lo.gue Artspace, Kemang, Jakarta Selatan.
Apa sih yang membuat ketertarikan Tim Voxnews berkunjung ke sana? Karena pameran ini menampilkan bakat seniman dengan disabilitas. Ini pameran yang mempromosikan inklusivitas.
Warna-Warna Volume II merupakan perayaan keberagaman, inklusivitas dan kreativitas. Volume ini berfokus pada penguatan jejaring kerja sama antar inisiatif dan kolektif maupun individu yang selama beberapa tahun terakhir terus mendorong keberlangsungan suatu jenis kesenian yang definitif : seni disabilitas.
Ekspresi seni disabilitas yang ditampilkan dalam pameran ini mencakup berbagai medium dan gaya, dari lukisan dan patung hingga instalasi dan seni media baru. Selain menantang stereotipe dan stigma tentang kaum difabel, kekhasan seni ini terletak pada perjuangannya untuk mewujudkan inklusi serta aksesibilitas dalam dunia seni.
Pameran ini hasil kolaborasi antara Yayasan Dialogue Seni Budaya-Yayasan Andien Aisyah dengan Jogja Disability Arts; Open Arms-Yayasan Selasar Sunaryo; Tab Space (Bandung); British Council; Yayasan Filoksenia dan Dwi Tunggal. Dengan kuratornya ialah Agung Hujartnika dan Nano Warsono.
Sebagian besar karya dalam pameran ini digarap dengan metode kolaborasi, di mana pertukaran ide, pengetahuan dan penggabungan pengalaman pribadi ini tidak hanya menghasilkan karya seni yang menggugah, tetapi juga mendukung kesalingpahaman dan mengatasi stigma serta stereotipe yang ada tentang disabilitas.
Banyak bangeet, Vox and Voxy! Ada proses berkaya kolaborasi Angkasa Nasrullah dan Dewi Aditia. Kolaborasi itu menghasilkan 3 karya seni di atas kanvas berukuran 80 x 100 cm.
Ade memulai proses dengan mewarnai kanvas menggunakan warna-warna yang ia sukai, menciptakan fondasi yang penuh ekspresi dan kelembutan. Setelah itu, Angkasa merespon dengan menambahkan elemen-elemen yang berbicara pada hatinya.
Perpaduan itu terlengkapi dengan sentuhan potongan kain khas Ade, teknik khas yang selalu menjadi ciri khasnya dalam berkarya. Seperti yang dilihat karya berjudul “Funny Strange Windows” :
Ada juga proses berkarya dari Edi Priyanto. Ia seorang seniman dengan disabilitas fisik yang menempuh pendidikan di Institut Seni Indonesia Yogyakarta (ISI). Edi hidup dengan osteogenesis imperfecta, sebuah penyakit tulang rapuh yang mengharuskannya menggunakan kursi roda untuk aktivitas sehari-harinya.
Ada kalimat yang menjadi kekuatannya untuk terus berkarya. Yakni “Tapi urip yo urip, jadi tetap semangat.” Kekuatan ini tergambarkan di salah satu karyanya yang berjudul “Rotasi Posisi” :
Dan… banyak lagi karya-karya yang membuat kita terinspirasi dan melihat sisi kreatif penyandang disabilitas.
Bukan membanding-bandingkan karya orang, tapi ada tiga karya yang membuat Tim Voxnews terkagum-kagum banget !
Favorit pertama jatuh pada karya dari Winda Karunadhita. Dia seorang seniman asal Bali, mulai melukis pada tahun 2015 setelah kehilangan ayahnya yang menjadi pemicu kuat dalam hidupnya untuk mendalami seni.
Winda mengidap kelainan genetik yang menyebabkan kelumpuhan sejak usia sekolah dasar, tapi Winda tidak membiarkan keterbatasannya menghalangi semangat berkaryanya.
Walau otot-otot lengannya semakin melemah, ia tetap melukis dengan tekad yang kuat, memegang tangan kanannya dengan tangan kiri saat menggoreskan kanvas. Karya-karyanya yang terinspirasi oleh alam dan manusia telah dipamerkan dalam berbagai acara seni, baik nasional maupun internasional.
Favorit kedua adalah film dokumenter pendek dari Mohammad Islamil dan Fr. Sales Magastowo berjudul “Falhan’s Love (Cinta Falhan). Video dokumenter ini berdurasi 16 menit yang dikeluarkan pada tahun 2021.
Video ini menceritakan tentang pasangan suami istri, Untung dan Nesti, sangat menyayangi anak mereka yang berusia 6 tahun, Falhan. Keduanya merupakan penyandang disabilitas; Untung kehilangan satu lengannya akibat kecelakaan kerja, sementara Nesti menggunakan kursi roda karena ia lahir dengan cerebral palsy.
Sekitar 3 tahun lalu, mereka mengetahui bahwa anak mereka, Falhan, memiliki autisme. Keluarga ini mengandalkan sistem kesehatan pemerintah untuk terapi Falhan, namun sayangnya, layanan tersebut hanya dibiayai untuk anak-anak hingga usia 6 tahun. Sekarang mereka harus membayar terapi Falhan sendiri.
Favorit ketiga, karya dari Sukri Budi Dharma atau dikenal sebagai Mas Butong. Seniman disabilitas sekaligus pegiat seni disabilitas yang berdomisi di Yogyakarta. Karyanya yang ditampilkan ialah “No Choice, Fight!” terinspirasi oleh kegelisahannya terhadap diskriminasi dan kekerasan yang dialami perempuan, khususnya perempuan disabilitas.
Mas Butong prihatin dengan kurangnya pemberdayaan perempuan disabilitas, yang seringkali menjadi korban kekerasan, terutama oleh orang-orang terdekat. Melalui karyanya, ia ingin menyuarakan perjuangan perempuan disabilitas agar terus melawan dan tidak menyerah dalam menghadapi diskriminasi dan kekerasan.
So Vox and Voxy yang lagi di Jakarta, ayo kunjungi pameran Pusparagam Seni Disabilitas ! Tenang, pameran ini sampai dengan 13 Oktober 2024.
Penulis : Tim Voxnews