Hai Vox and Voxy! Pertanyaan dari judul itu pasti pernah terpikirkan kan? Kok masih banyak orang yang menjadi korban penipuan ? Baik yang melalui telepon, chat dari WhatsApp dan email. Nggak jarang juga korban merupakan orang yang berpendidikan loh!
Nah ternyata ada penelitian mengenai hal ini loh! Di artikel berjudul “There’s a Reason Even The Smartest People Fall for Scams” dari Kendra Cherry, dia menjabarkan bagaimana penipuan bekerja berdasarkan eksploitasi emosi, kepercayaan dan bias kognitif yang melekat pada manusia.
Diketahui, banyak juga orang yang berusia 18 hingga 24 tahun yang mengalami kerugian finansial akibat penipuan. Karena mereka memiliki keakraban dengan teknologi, tapi memang tidak selalu memberikan perlindungan yang cukup dari taktik penipuan.
Melalui artikel ini, semoga bisa kita tahu yaaa jawaban dari KENAPA ini!
1. MANIPULASI PSIKOLOGIS YANG RUMIT
Penipuan ini tidak hanya bergantung pada kecerdasan aja, tapi juga kelemahan psikologis yang sering kali dimiliki oleh tiap individu.
Kalau bilang Dr. Robert Cuyler, PhD :
“Penipu sering kali menyamar sebagai otoritas atau entitas yang bisa dipercaya untuk membangun kredibilitas. Mereka mungkin meniru gaya bahasa dan komunikasi, atau bahkan menyamar sebagai teman dan keluarga untuk menumbuhkan rasa keakraban dan kepercayaan.”
Contohnya ni , seperti panggilan telepon atau email yang seolah-olah berasal dari bank atau institusi pemerintah. Nah korban cenderung mengikuti instruksi tanpa memikirkan konsekuensinya.
2. EKSPLOITASI EMOSI DAN RASA TAKUT
Memanfaatkan emosi, terutama rasa takut, menjadi salah satu cara paling efektif untuk nipu seseorang. Karena dalam keadaan cemas atau terancam, manusia cenderung bereaksi cepat tanpa mempertimbangkan dengan matang. Inilah yang dimanfaatkan para penipu.
Kalau kata Dr. Mary Poffenroth, PhD :
“Ketakutan adalah salah satu faktor utama yang membuat orang lebih rentan terhadap penipuan.”
Contohnya, email penipuan yang mengancam akan membekukan rekening bank atau menuntut tindakan cepat agar korban tidak kehilangan kesempatan besar sering kali berhasil menipu korban untuk bertindak cepat tanpa berpikir panjang.
3. BIAS KOGNITIF YANG MENGHANTUI
Salah satu bias yang sering dimanfaatkan oleh penipu adalah confirmation bias. Confirmation bias adalah kecenderungan untuk mencari dan mempercayai informasi yang mendukung keyakinan kita.
Dalam penipuan, hal ini dieksploitasi dengan cara menyajikan informasi yang seolah-olah mendukung harapan atau kekhawatiran korban.
Pun dengan penggunaan heuristik-yakni aturan praktis yang biasanya kita gunakan untuk mengambil keputusan cepat-juga membuat kita rentan terhadap penipuan.
Dalam dunia digital, banyak orang sering kali percaya pada ulasan online sebagai dasar untuk mengambil keputusan. Penipu memanfaatkan ini dengan membuat review palsu yang tampak asli. Jadinya korban merasa aman untuk melakukan transaksi, meskipun sudah tanda-tanda bahaya.
4. FAKTOR SOSIAL DAN PENGARUH LINGKUNGAN
Dalam situasi tertentu, tekanan sosial dapat membuat seseorang merasa perlu mengikuti jejak orang lain. Dalam hal ini, penipu kerap menciptakan ilusi bahwa banyak orang lain telah melakukan tindakan tertentu, seperti berinvestasi atau membeli produk, untuk mendorong korban agar ikut serta.
Taktik psikologis lainnya adalah reciprocity bias atau bias timbal balik. Ini ketika penipu memberikan sesuatu kepada korban, seperti informasi atau bantuan kecil, korban cenderung merasa terikat untuk memberikan sesuatu kembali.
Seperti yang dibilang Dr. Mary Poffenroth :
“Korban merasa lebih sulit secara psikologis untuk menolak permintaan selanjutnya karena ‘bantuan’ pertama berfungsi sebagai taktik untuk membuka kesempatan.”
Nah Vox and Voxy, mungkin dengan kita tahu faktor-faktor yang membuat korban bisa terkena modus ini, kita bisa mencegah dari modus penipuan yang semakin canggih ya!
Penulis : Tim Voxnews