SAMARINDA – Peristiwa perebutan wilayah Sangasanga pada 27 Januari 1947 menjadi salah satu babak penting dalam sejarah perjuangan rakyat Kalimantan Timur mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Meski proklamasi kemerdekaan telah diumumkan pada 17 Agustus 1945, semangat kemerdekaan itu tidak sepenuhnya dirasakan di beberapa wilayah, termasuk Kalimantan Timur. Daerah ini kembali dikuasai Belanda melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA), yang melanjutkan pengelolaan ladang minyak strategis di Sangasanga.
Muhammad Sarip selaku penulis buku sejarah Kaltim mengungkapkan, kesadaran kolektif masyarakat Sangasanga dan sekitarnya untuk mendukung Indonesia yang baru merdeka menjadi pemantik perlawanan. Ladang minyak Sangasanga, sebagai sumber daya vital, menjadi simbol perebutan kedaulatan yang lebih besar.
“Rencana perebutan wilayah ini sudah disusun sejak akhir 1945. Para pejuang lokal mempersiapkan senjata, melatih penggunaan senjata api, dan berkoordinasi dengan kelompok perlawanan dari Samarinda dan Balikpapan. Namun, banyak tantangan yang dihadapi, mulai dari keterbatasan logistik hingga menjaga kerahasiaan rencana tersebut,” ungkap Sarip.
Namun, kerahasiaan rencana itu terganggu. Kebocoran informasi mengenai identitas anggota laskar pejuang memaksa mereka mempercepat serangan. Pada 26 Januari 1947, pertempuran pecah lebih awal dari yang direncanakan.
Pertempuran Tiga Hari yang Menggores Luka
Selama tiga hari pertempuran sengit berlangsung. Belanda mengerahkan pasukan dari Balikpapan dan Samarinda untuk mempertahankan Sangasanga. Perlawanan gigih dari para pejuang akhirnya harus mundur di tengah gempuran kekuatan militer yang lebih besar.
Banyak korban jiwa berjatuhan, termasuk warga sipil yang dianggap mendukung Republik Indonesia. Para pejuang yang tertangkap tidak sedikit yang menghadapi eksekusi tanpa ampun oleh pihak Belanda. Peristiwa ini meninggalkan luka sejarah yang dalam bagi rakyat Sangasanga.
Sebagai penghormatan atas perjuangan ini, pemerintah mendirikan Monumen Perjuangan Sangasanga pada 1982. Setiap 27 Januari, upacara peringatan digelar untuk mengenang jasa para pahlawan.
Sebanyak 27 jenazah pejuang dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa di Samarinda, sementara sisanya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sangasanga.
Museum Perjuangan Sangasanga kini menjadi penjaga memori kolektif. Koleksi senjata, seragam, dan dokumen perjuangan tersimpan di sana, memberikan gambaran utuh tentang babak sejarah yang penuh keberanian ini. Situs-situs penting, seperti tugu pembantaian massal dan lokasi eksekusi, terus dijaga sebagai pengingat tragedi dan heroisme masa lalu.
Sangasanga kini bukan hanya simbol perjuangan rakyat Kalimantan Timur, tetapi juga destinasi wisata sejarah yang mengajarkan nilai patriotisme. Upaya pelestarian yang dilakukan pemerintah dan masyarakat setempat memastikan bahwa pengorbanan para pejuang takkan terlupakan oleh generasi mendatang.
Dalam buku Historipedia Kalimantan Timur, Muhammad Sarip dan Nanda Puspita Sheilla mencatat pentingnya peristiwa ini bagi sejarah militer Indonesia.
“Meski perjuangan merebut kota minyak ini hanya berlangsung tiga hari, peristiwa Sangasanga tercatat sebagai aksi patriotisme besar. Belanda akhirnya meninggalkan Sangasanga pada awal 1950 setelah mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat melalui Konferensi Meja Bundar,” tulis mereka.
Penulis: Asrida