SAMARINDA – Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti menegaskan bahwa pemerintah kota harus hadir secara nyata dalam menjamin rasa aman bagi warganya, terutama perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan. Menurutnya, penyelesaian kasus menjadi bagian krusial yang tak bisa diabaikan.
“Jumlah kasus boleh tinggi, tapi kalau penyelesaiannya rendah, itu artinya ada yang tidak beres. Rasa aman masyarakat jadi taruhannya,” ujar Puji.
Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Tahun 2024 mencatat bahwa Samarinda mencatatkan angka tertinggi di Kaltim: 103 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 175 kasus kekerasan terhadap anak. Meski begitu, angka penyelesaian kasus disebut belum sebanding.
Puji menyebut bahwa tingginya pelaporan justru menunjukkan keberhasilan dalam membangun kesadaran publik. Namun, ia mengingatkan bahwa keberanian masyarakat melapor harus dibarengi dengan respon hukum yang adil dan tegas.
“Sekarang masyarakat sudah mulai percaya untuk melapor. Tapi kalau pelaku tidak ditindak, atau prosesnya menggantung, kepercayaan itu bisa hilang. Masyarakat butuh bukti, bukan janji,” tegasnya.
Politisi Partai Demokrat ini menyoroti pentingnya koordinasi antara lembaga penegak hukum, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), serta unit-unit layanan perlindungan yang tersebar di wilayah Samarinda.
Ia juga menekankan agar Pemkot Samarinda meningkatkan kualitas penanganan kasus, baik dari sisi pendampingan korban, proses hukum, hingga rehabilitasi psikologis. Sebab, trauma berkepanjangan dapat berdampak lebih buruk bagi masa depan korban, terutama anak-anak.
“Kalau negara tidak hadir untuk melindungi kelompok rentan, lalu siapa lagi? Pemerintah harus tunjukkan sikap tegasnya agar tidak ada yang merasa dibiarkan,” pungkas Puji.
DPRD Samarinda pun berkomitmen mengawal isu ini lewat pengawasan dan dorongan terhadap kebijakan perlindungan yang berpihak kepada korban. (ADV)