SAMARINDA – Perlambatan ekonomi yang berdampak langsung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kalimantan Timur (Kaltim) tak hanya disebabkan oleh faktor global, tetapi juga karena ketimpangan kontribusi sektor ekstraktif yang selama ini menjadi andalan utama pendapatan daerah.
Hal ini disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Sapto Setyo Pramono, saat menghadiri agenda monitoring bersama BPKAD dan Bapenda Kaltim, Rabu (28/5/2025). Ia menilai bahwa selama ini Kaltim menanggung beban lingkungan dan sosial akibat eksploitasi sumber daya alam, namun belum memperoleh imbal balik fiskal yang adil dari pusat.
“Selama ini kita banyak berkontribusi terhadap ekonomi nasional, khususnya lewat tambang dan kehutanan. Tapi kontribusi balik ke daerah, dari PKH (Pajak Kehutanan) dan PKT (Pajak Penjualan Hasil Tambang), nyaris nol,” tegas Sapto.
Ia menyebut, pendapatan dari sektor batu bara yang selama ini menjadi tulang punggung fiskal daerah terus menurun akibat melemahnya harga dan volume produksi. Kondisi ini diperparah oleh kebijakan nasional, seperti Perpres Nomor 1 Tahun 2025, yang mempengaruhi daya beli masyarakat dan serapan anggaran daerah.
“Yang kita khawatirkan, sumber daya kita terus terkuras tapi daerah tetap bergantung pada DBH yang fluktuatif. Ini tidak sehat untuk kemandirian fiskal,” ujarnya.
Sapto pun mendorong agar Pemerintah Provinsi Kaltim berani menempuh langkah politik dan administratif untuk menuntut kejelasan kontribusi PNBP dari sektor kehutanan dan pertambangan. Bahkan, ia menyebut DPRD telah mengirim surat resmi ke Gubernur agar Kementerian ESDM segera dilibatkan dalam pembahasan ini.
“Kita minta ini diperjuangkan serius. Jangan sampai APBD terus lesu sementara kerusakan lingkungan kita semakin parah,” katanya.
Di sisi lain, Sapto juga mendorong optimalisasi pendapatan dari sektor lain seperti PI (Personal Income) 10 persen, serta potensi pendapatan baru yang selama ini belum tergarap maksimal. Menurutnya, semua potensi itu harus dimaksimalkan dalam penyusunan P-APBD 2025 dan APBD Murni 2026 agar tidak bergantung semata pada sektor tambang.
“Kita butuh reformasi fiskal daerah. Jangan sampai SDA kita habis, tapi pembangunannya tidak terasa di daerah sendiri,” pungkas politisi Partai Golkar itu. (ADV)